A. DEFINISI KEPEMIMPINAN
Apakah arti kepemimpinan?
Menurut sejarah, masa “kepemimpinan”
muncul pada abad 18. Ada beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain:
1.
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan
langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
2.
Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957,
7).
3.
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas
kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984,
46).
4.
Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah
kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
5.
Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama
dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs
& Jacques, 1990, 281).
Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi
bahwa kepemimpinan
dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat.
Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam
susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C.
Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan
adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.
B.
PENGERTIAN
PEMIMPIN
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa
manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat
dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang
mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi
pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan
alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat
rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan
untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).
C.
TUGAS
DAN PERAN PEMIMPIN
Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin
adalah:
1.
Pemimpin
bekerja dengan orang lain
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk
bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja
atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi.
2.
Pemimpin adalah
tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas).
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk
menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome
yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa
kegagalan.
3.
Pemimpin menyeimbangkan
pencapaian tujuan dan prioritas
Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin
harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya
pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya
kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara
efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4.
Pemimpin harus
berpikir secara analitis dan konseptual
Seorang pemimpin harus menjadi seorang
pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi
masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan
menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
5.
Manajer adalah
seorang mediator
Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan
organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator
(penengah).
6.
Pemimpin adalah
politisi dan diplomat
Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan
melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat
mewakili tim atau organisasinya.
7.
Pemimpin
membuat keputusan yang sulit
Seorang
pemimpin harus dapat memecahkan masalah.
Menurut Henry Mintzberg, Peran
Pemimpin adalah :
1.
Peran hubungan
antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai
pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.
Fungsi Peran
informal sebagai
monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3.
Peran Pembuat
keputusan,
berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan
negosiator
D.
PRINSIP-
PRINSIP DASAR KEPEMIMPINAN
Prinsip, sebagai paradigma terdiri dari beberapa ide utama
berdasarkan motivasi pribadi dan sikap serta mempunyai pengaruh yang kuat untuk
membangun dirinya atau organisasi. Menurut Stephen R. Covey (1997),
prinsip adalah bagian dari suatu kondisi, realisasi dan konsekuensi. Mungkin
prinsip menciptakan kepercayaan dan berjalan sebagai sebuah
kompas/petunjuk yang tidak dapat dirubah. Prinsip merupakan suatu pusat
atau sumber utama sistem pendukung kehidupan yang ditampilkan dengan 4 dimensi
seperti; keselamatan, bimbingan, sikap yang bijaksana, dan
kekuatan. Karakteristik seorang pemimpin didasarkan
kepada prinsip-prinsip (Stephen R. Coney) sebagai berikut:
1. Seorang yang belajar
seumur hidup
Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga diluar
sekolah. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar.
Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar.
2.
Berorientasi
pada pelayanan
Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab
prinsip pemimpin dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan
utama. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada
pelayanan yang baik.
3.
Membawa energi
yang positif
Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan
energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung
kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun
hubungan baik. Seorang pemimpin harus dapat dan mau bekerja untuk jangka waktu
yang lama dan kondisi tidak ditentukan. Oleh karena itu, seorang pemimpin
harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti
a.
Percaya pada
orang lain
Seorang pemimpin mempercayai orang lain termasuk staf
bawahannya, sehingga mereka mempunyai motivasi dan mempertahankan pekerjaan
yang baik. Oleh karena itu, kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.
b.
Keseimbangan
dalam kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya.
Berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan
olah raga, istirahat dan rekreasi. Keseimbangan juga berarti seimbang antara
kehidupan dunia dan akherat.
c.
Melihat
kehidupan sebagai tantangan
Kata ‘tantangan’ sering di interpretasikan negatif.
Dalam hal ini tantangan berarti kemampuan untuk menikmati hidup dan segala
konsekuensinya. Sebab kehidupan adalah suatu tantangan yang dibutuhkan,
mempunyai rasa aman yang datang dari dalam diri sendiri. Rasa aman tergantung
pada inisiatif, ketrampilan, kreatifitas, kemauan, keberanian, dinamisasi dan
kebebasan.
d.
Sinergi
Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergi dan
satu katalis perubahan. Mereka selalu mengatasi kelemahannya sendiri dan
lainnya. Sinergi adalah kerja kelompok dan memberi keuntungan kedua belah
pihak. Menurut The New Brolier Webster International Dictionary, Sinergi
adalah satu kerja kelompok, yang mana memberi hasil lebih efektif dari pada
bekerja secara perorangan. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan
setiap orang atasan, staf, teman sekerja.
e.
Latihan
mengembangkan diri sendiri
Seorang pemimpin harus dapat memperbaharui diri sendiri
untuk mencapai keberhasilan yang tinggi. Jadi dia tidak hanya
berorientasi pada proses. Proses daalam mengembangkan diri terdiri dari
beberapa komponen yang berhubungan dengan: (1) pemahaman materi; (2) memperluas
materi melalui belajar dan pengalaman; (3) mengajar materi kepada orang lain;
(4) mengaplikasikan prinsip-prinsip; (5) memonitoring hasil; (6) merefleksikan
Kepada hasil; (7) menambahkan
pengetahuan baru yang diperlukan materi; (8) pemahaman baru; dan (9) kembali
menjadi diri sendiri lagi.
Mencapai kepemimpinan yang berprinsip tidaklah mudah,
karena beberapa kendala dalam bentuk kebiasaan buruk, misalnya: (1) kemauan dan
keinginan sepihak; (2) kebanggaan dan penolakan; dan (3) ambisi pribadi.
Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan pengalaman yang
terus-menerus. Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan
perspektif baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Hukum alam tidak dapat dihindari
dalam proses pengembangan pribadi. Perkembangan intelektual seseorang
seringkali lebih cepat dibanding perkembangan emosinya. Oleh karena itu, sangat
disarankan untuk mencapai keseimbangan diantara keduanya, sehingga akan menjadi
faktor pengendali dalam kemampuan intelektual. Pelatihan emosional dimulai dari
belajar mendengar. Mendengarkan berarti sabar, membuka diri, dan
berkeinginan memahami orang lain. Latihan ini tidak dapat
dipaksakan. Langkah melatih pendengaran adalah bertanya, memberi alasan,
memberi penghargaan, mengancam dan mendorong. Dalam proses melatih tersebut,
seseorang memerlukan pengontrolan diri, diikuti dengan memenuhi keinginan
orang.
Mengembangkan kekuatan pribadi akan
lebih menguntungkan dari pada bergantung pada kekuatan dari luar. Kekuatan dan
kewenangan bertujuan untuk melegitimasi kepemimpinan dan seharusnya tidak untuk menciptakan
ketakutan. Peningkatan diri dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap
sangat dibutuhkan untuk menciptakan seorang pemimpin yang berpinsip karena
seorang pemimpin seharusnya tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
emosional (IQ, EQ dan SQ).
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang
sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition),
kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty)
untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju cita-cita.
Dalam Islam karena
kepemimpinan erat kaitannya dengan pencapaian cita-cita maka kepemimpinan itu
harus ada dalam tangan seorang pemimpin yang beriman. Firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 28 :
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
Untuk dapat
menghasilkan pemimpin yang dapat memikul amanah yang dipercayakan kepadanya,
menurut Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
diperlukan seseorang yang kokoh iman dan takwanya, mulia akhlaknya, mampu
bersikap adil dan jujur, berilmu dan cerdas (fathonah), berkompeten,
konsekuen memikul tanggung jawab (amanah), sehat jasmani dan rohani,
memiliki keberanian menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Syarat
terakhir yaitu keberanian karena tanpa keberanian, segala sifat-sifat terdahulu
tidak akan dapat dijalankan secara efektif.
Tentang hadits yang
terkait dengan kepemimpinan, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Orang yang
bakal paling dikasihi oleh Allah dan yang paling dekat di sisi-Nya kelak pada
hari berhisab ialah pemimpin yang adil, dan orang yang bakal paling dibenci
Allah pada hari berhisab dan bakal menerima siksa azab yang sangat pedih adalah
para pemimpin yang dzalim.” (HR Tirmidzi).
Di lain hadits,
Rasulullah SAW memperingatkan bahwa “Barangsiapa yang pernah memimpin lebih
dari sepuluh orang kelak akan dibawa pada hari berhisab dengan kaki tangannya
terbelenggu dan hanya keadilan yang pernah diamalkannya sajalah yang dapat
melonggarkan rantai belenggu tadi, sedang kedzaliman yang pernah dibuatnya
kelak akan membawanya kepada kehancuran.” (HR Darimi).
E.
MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek. Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi. Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a). Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada
tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para
pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan,
kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan
lain lain (Bass 1960, Stogdill 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa
terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan
pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan
situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan
tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi
bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial
para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan
untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin
yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara
karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi
tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional
Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics).
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics).
Kajian model kepemimpinan situasional lebih
menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun
demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat
memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih
efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of
Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan
informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin
yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua
dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi
(consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana
para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin
mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan
dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi
menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan
bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan
emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja
dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi.
Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan
adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966), Blake
and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif
cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka
berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan
organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang
persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa
hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini
mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat
menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model
Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model
Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar